Ruang Publik yang (Ikut) Sakit

Ruang publik kita sedang sakit terjangkiti Covid-19. Semua orang di seluruh dunia diminta tinggal di rumah. Masyarakat bukan hanya dilarang berkerumun untuk urusan yang tidak jelas tujuannya seperti nongkrong, namun juga untuk kegiatan yang sangat penting seperti sekolah, seminar, hingga ibadat yang melibatkan orang banyak.

Salat Jumat, yang pada maknanya adalah salat yang dilaksanakan bersama-sama, kini berganti menjadi salat dhuhur, sendiri-sendiri, di rumah masing-masing. Begitu juga upacara kebaktian umat Kristiani sebagai prosesi suci yang mengandung makna kebersamaan terpaksa dilaksanakan di rumah masing-masing untuk menghindari kontak fisik para jamaah.

Tempat-tempat ziarah sebagai ruang mendapat berkah dan pembentuk ikatan kolektif-kejemaahan kini dianggap sebagai perantara yang potensial menyebarkan Covid-19. Maka tengoklah bagaimana Mekah dan Madinah, dua situs kota suci umat Islam yang menjadi sepi. Vatikan menjadi lenggang.

Covid-19 yang pada awalnya menjadikan masyarakat sakit secara medis hingga menewaskan ratusan bahkan jutaan orang di berbagai negeri, kini juga mulai menimbulkan penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. Penyakit sosial itu muncul dalam gejala egoisme beragama, panic buying, demam hoax, hingga stigma pada para korban Covid-19 yang justru telah berjuang menjadi garda terdepan melawan pandemi ini.

Pergeseran dari penyakit medis Covid-19 menjadi penyakit sosial tentu sangat disayangkan. Justru di saat kita semua membutuhkan kebersamaan dalam melawan wabah ini, sebagian orang telah berperilaku layaknya orang sakit secara sosial dalam wujud egoisme, keserakahan, dan kebohongan tadi. Angka orang yang sakit sosial ini pun terkerek mengikuti statistik korban Covid-19. Jumlah penyebar hoax terus bertambah, penimbunan masker dan APD terjadi di banyak tempat, dan penolakan penguburan korban Covid-19 terjadi seakan mengikuti updating jumlah orang yang terinfeksi.

Sehat Sosial
Anjuran social distancing begitu sulit dilaksanakan masyarakat kita. Hal ini karena manusia pada hakikatnya membutuhkan interaksi sosial di ruang publik. Namun karena kondisi ruang publik sedang sakit terjangkit pandemi, maka masyarakat harus menjauhinya.

Ruang publik berfungsi bukan hanya sebagai wahana interaksi sosial secara fisik. Namun juga, ruang publik ini merupakan jati diri dari manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Manusia memang didesain sebagai makhluk sosial. Perkembangan teknologi dari mulai telepon, telegram, televisi, hingga media sosial tidak lain adalah ikhtiar manusia memenuhi hasrat dirinya terlibat dalam ruang publik bersama itu.

Kenapa manusia membutuhkan ruang publik? Karena pada ruang publik inilah kesehatan sosial didapatkan dan dijaga melalui proses interaksi dengan sesama manusia lain. Banyak bukti menunjukkan bahwa kehidupan sosial bersama ikut menentukan tingkat kesehatan individu dalam masyarakat.

Ruang publik, baik fisik maupun non-fisik, juga menjadi ukuran dalam menghitung tingkat kebahagiaan dan kesehatan masyarakat. Salah satu indikator sebuah negara disebut sebagai liveable country juga terletak pada seberapa banyak negara tersebut dapat menyediakan ruang publik dalam wujud fisik dan non-fisik agar masyarakat dapat berinteraksi dengan nyaman, merdeka, dan tanpa rasa khawatir.

Pentingnya ruang publik yang sehat sudah lama menjadi perhatian para ilmuwan. Para sosiolog telah mempostulatkan bagaimana pengaruh masyarakat dalam arti kolektif sebagai wujud ruang publik terhadap kesehatan masyarakat. Istilah-istilah seperti alienasi, anomali, patologi sosial adalah gambaran penyakit sosial akibat tercerabut dari ruang publik bersama ini.

Bahkan dalam kajian tentang fenomena bunuh diri, sosiolog dari Prancis Emile Durkheim menyimpulkan bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh tingkat erat dan longgarnya seorang individu terkait dengan struktur sosial di masyarakatnya. Manusia yang terpinggirkan dari masyarakatnya dari interaksi komunal dapat menjadi faktor terjadinya tindakan bunuh diri ini.

Dengan demikian upaya menyembuhkan ruang publik dari Covid-19 ini harus ditempuh bukan hanya secara medis, tetapi juga secara sosial. Penanganan di pusat-pusat kesehatan oleh tenaga medis harus dibarengi tindakan-tindakan sosial dalam bentuk kepatuhan menjaga interaksi sosial, solidaritas sosial, dan optimisme di kalangan masyarakat.
Dengan telah bergesernya Covid-19 dari sekadar penyakit medis menjadi penyakit sosial, maka penyembuhannya juga menjadi tanggung jawab bersama, lintas disiplin, dari tenaga medis hingga ilmuwan sosial, dari pemimpin formal hingga pemimpin informal.

Ruang publik kita bisa kembali sembuh dan layak kita singgahi sebagai ruang bersama bukan hanya ketika virus ini telah hilang, tapi juga ketika bentuk-bentuk penyakit sosial seperti keserakahan, korupsi, dan egoisme tidak lagi menjadi bagian dari praktik kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Dede Syarif sosiolog UIN Bandung.

Artikel ini telah tayang di detiknews, “Ruang Publik yang (Ikut) Sakit”. https://news.detik.com/kolom/d-4980757/ruang-publik-yang-ikut-sakit.

Related Posts