Mudik, sebuah kata yang tak hanya mengandung arti perjalanan fisik, tetapi juga mengisyaratkan kembali ke akar dan identitas. Dalam konteks sosiologi, mudik menjadi sebuah fenomena yang mengungkapkan dinamika perantauan dan urbanisasi di Indonesia. Terjadinya mudik tidak lepas dari keterikatan kita dengan konsep merantau. Merantau, sebuah tradisi yang telah mengakar dalam budaya kita, memaksa kita untuk kembali ke kampung halaman setiap kali momen lebaran tiba. Namun, untuk memahami fenomena mudik dengan lebih mendalam, kita perlu memahami terlebih dahulu konsep urbanisasi.
Urbanisasi, pergerakan penduduk dari desa ke kota, menjadi dasar dari perantauan yang kemudian memicu fenomena mudik. Ada dua faktor utama yang mendorong terjadinya urbanisasi: faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong mencakup kondisi di desa yang sulit, seperti kesulitan mencari pekerjaan. Sedangkan, faktor penarik mencakup peluang yang lebih besar di kota, seperti lapangan kerja yang melimpah dan gaji yang menggiurkan.
Namun, mudik tidak hanya sekadar perjalanan fisik. Ini juga menjadi sebuah bentuk mobilitas sosial bagi kaum urban. Setiap kali lebaran tiba, para perantau kembali ke kampung halaman mereka, membentuk siklus tahunan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini, mudik bukan hanya sekadar perjalanan, tetapi juga sebuah ritual sosial yang membawa kita kembali ke akar budaya dan identitas kita.
Dalam sebuah narasi yang lebih luas, fenomena mudik menjadi sebuah cermin dari dinamika sosial yang kompleks, menggambarkan bagaimana perantauan dan urbanisasi membentuk dan memengaruhi kehidupan masyarakat kita. Sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mudik tidak hanya menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga di kampung halaman, tetapi juga menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas.
Dr. Dede Syarif, Dosen Sosiologi UIN Bandung dan founder @perspektif_sosiologi